Selasa, 28 Desember 2010

MINUMAN KERAS

1. Pendahuluan
Tubuh kedinginan, adalah kondisi fisikal. Sementara perasaan cemas, merasa kalah dalam bersaing, tegang dan bingung, adalah kondisi kejiwaan. Tubuh yang dingin bisa disebabkan oleh berbagai alasan seperti keadaan udara yang terlalu dingin yang terjadi pada saat musim dingin (winter), sebagaimana salah satu musim di negara-negara Barat . Pada musim dingin itu, tubuh membutuhkan kehangatan. Di antara cara bagaimana menghangatkan tubuh ialah dengan mengkonsumsi minuman keras. Jadi, pada awal mulanya, minuman keras itu dikonsumsi untuk pemenuhan kehangatan tubuh di saat mereka berada pada musim dingin. Sepanjang musim dingin itu, berbagai kegiatan masyarakat manusia berjalan sebagaimana biasa. Dari sini lalu, berbagai jenis minuman penghangat dan menghadirkan kehangatan seperti jenis-jenis minuman yang terbuat dari perasan buah anggur tersedia dan disediakan untuk diri dan menjamu tamu. Minuman sejenis itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Sementara itu, perasaan yang cemas umumnya membutuhkan obat-obat penenang. Adanya sejumlah minuman ataupun makanan yang bisa menghilangkan bahkan mengubah perasaan tegang, bingung, dan cemas menjadi bergairah, atau setidaknya perasaan cemas itu terlupakan, maka kebutuhan terhadap minuman dan obat-obat seperti itu, dalam satu sisi akan semakin meluas, dan pada sisi lain akan semakin bermunculan produsen.
Produsen cenderung memperluas produk dan memperdagangkan ke dalam lingkup yang luas sesuai dengan peningkatan permintaan. Demikian inilah hukum ekonomi. Dari sinilah mulai muncul jaringan-jaringan. Jika di negara tertentu terdapat pelarangan, tidak berarti di negara tersebut tidak dapat ditemukan minuman keras dan obat-obat terlarang. Selalu saja ada perdangangan gelap. Ketika minuman keras dan obat-obat penenang seperti morfin, ganja, mariyuana, masuk pada kategori perdagangan gelap, maka akan terjadi jaringan perdagangan gelap yang melibatkan oknum-oknum ke dalamnya.
2. Peredaran
Peredaran berbagai jenis-jenis obat terlarang (drug addiction ) termasuk di dalamnya berbagai jenis minum-minuman keras, dewasa ini sangat mencemaskan. IMencemaskan karena telah terjadi penyalahgunaan dalam satu segi, dan perluasan pengedaran secara massif dalam segi yang lain. Penyalahgunaan mengkonsumsi minuman dan obat-obat terlarang seperti itu, pelakunya tidak saja ada di kota-kota besar tetapi juga di berbagai daerah bahkan telah merambah desa. Ini pertanda apa? Apakah lambang modernitas atau justru karena semakin banyak orang merasa stress. Jawabannya, membutuhkan penelitian tersendiri. Yang jelas, situasi seperti itu, seringkali dimanfaatkan oleh para produsen, pedagang, dan peredar – untuk suatu kepentingan keuntungan sekonomi. Ia beredar secara transaksional.
Dalam hukum (kegiatan) ekonomi, transaksi hanya bisa berlangsung kalau pertama, barang tersebut memang tersedia. Ini artinya, ada media dan jaringan untuk bisa sampai kepada calon pembeli. Kedua, barang itu akan terbeli kalau diyakini bisa memberikan sesuatu seperti kepuasan. Tak mungkin seseorang membeli sesuatu barang kalau barang tersebut tidak memberi nilai kemanfaatan bagi mereka yang telah sudi mangeluarkan dana. Proses untuk menjadikan minuman keras atau obat terlarang menjadi seakan-akan berarti, dilakukan dalam bentuk kampanye (jangan dikira hanya partai politik saja yang bisa melakukan) atau promosi. Ketiga, karena barang itu (narkoba dan minuman keras) di Indonesia secara hukum dikategorikan sebagai barang terlarang, maka strategi memasarkan barang (marketing strategy ) harus secara tersembunyi alias rahasia. Agar aman dari segala kemungkinan buruk, diperlukan backing alias dukungan. Keempat, siapa lalu user alias pembeli potensialnya? Tentu tidak setiap “pemilik uang“ menjadi sasaran, melainkan orang-orang yang diperkirakan membutuhkan. Dan kelima, dipikirkan bagaimana kegiatan (transaksi) dapat berlangsung secara berkesinambungan. Kalau perlu, memanfaatkan model, Multi Level Marketing. Strateginya: bagaimana pengguna menjadi ketagihan; jumlah penggunanya semakin meluas; kerahasiaan dapat terjaga; dan keuntungan bisa berlipat ganda? Berbagai kegiatan black-market seperti itu, dapat dengan mudah kita lihat dari tayangan film-film India.
3.Asumsi-asumsi
T
erdapat pengetahuan umum bahwa mengkonsumsi barang-barang tersebut hukumnya haram menurut agama. Agama berbicara: “minuman keras dan obat-obat terlarang itu memberi manfaat bagi penggunanya, tetapi kemanfaatan yang diperoleh tidak sebanding dengan risiko yang diterimanya. Orang yang sadar akan hal itu tetapi tetap mengkonsumsinya, maka mereka termasuk orang yang mengikuti amalan setan”. Dari psikologis, kenikmatan yang diperoleh dengan risiko yang ditanggung, tidak sebanding. Dari segi kesehatan, akan merusak tubuhnya sendiri. Dari segi efek tindakan, bisa merugikan bukan saja bagi dirinya tetapi juga lingkungannya seperti kecenderungn pada tidak amoral dan kriminal. Orang yang melakukan, dikatagorikan sebagai “mandosa“ kependekan dari: manusia berdosa. Jika melihat kerugian seperti itu, mengapa barang tersebut tetap saja dikonsumsi?
Ada banyak jawaban sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Para agamawan dengan mudah mengatakan, “ orang-orang sekarang, terutama anak mudanya, banyak yang tidak takut melakukan dosa”. Pernyataan ini benar, tetapi belum cukup. Bisa jadi, mereka memilih amalan setan karena riski yang diperoleh dan yang dibelanjakan barang makanan yang dikonsumsi berasal dari “uang setan”. Dari korupsi misalnya. Karena berasal dari uang setan maka perilakunya menjadi tidak berbeda jauh dengan perilaku setan.
Mengapa mereka menjadi “pemberani” (baca: nekat), bukankah akan bermakna sekali kalau pemberani untuk berbuat kebajikan? Apakah karena mereka frustasi? Nah ini urusan psikolog. Mengapa kegiatan (mengkonsumsi barang haram) itu semakin meluas jangkauannya, apakah karena masyarakatnya sendiri sudah tidak peduli? Nah ini urusan sosiolog. Jangan- jangan karena tidak ada tindakan (maksudnya : tindakan yang tidak optimal) dari aparat? Nah ini urusan polisi. Bukan hanya tugas polisi saja, tetapi juga tanggung jawab orangtua. Apakah orangtua masih punya wibawa di mata anak-anaknya atau tidak, sebagaimana pengakuan seorang Betawi berikut ini:
Ngapain lu ngebiarin anak lu sendiri menjadi anak yang kagak bener ? “ Bukan begitu bang, Aye udah nasehatin, tapi kagak didengar abis aye miskin bang. Kagak bisa nurutin permintaan anak. Jadi aye kagak wibawa di mate anak aye sendiri.
Bisa jadi, yang menkonsumsi narkoba, bukan remaja yang frustrasi tetapi yang dididik secara permissif oleh orangtua dan lingkungannya sendiri. Mengkonsumsi sebagai gaya hidup. Ternyata semuanya membawa dampak yang berlingkar bukan ?
4. Analisis
Ada dua kategori masyarakat manusia pada era pancaroba dalam kaitannya dengan masalah narkoba. Pertama, kategori manusia yang bisa menanggapi (merespons) keadaan ini dengan baik (adaptive, adjuctive). Kategori ini, masih bisa dibagi lagi menjadi dua, yaitu (a) mampu menanggapi secara hakiki (substantive), dan (b) mampu menanggapi secara mangambang (instrumentative). Kedua, kategori manusia yang terganggu (tidak mampu) menanggapi corak warna kehidupan ini (maladaptive) sehingga menghadapi berbagai risiko. Terhadap kelompok ini juga melahirkan dua risiko yaitu: (a) untuk dirinya sendiri, dan (b) untuk orang lain. Secara matriks kategori masyarakat manusia dalam hubungannya dengan respons terhadap narkoba itu sbb :
Kategori
Adaptif substantif sangat aman dari narkoba
++
instrumentatif aman dari narkoba +
Maladaptif berisiko untuk dirinya sendiri
Mengkonsumsi
-
berisiko untuk orang lain Mengkonsumsi dan mengedarkan

Kategori pertama yang adaptif substantif, memiliki pengetahuan, sikap, dan tindakan jelas, yaitu menghindari narkoba, berdasarkan berbagai alasan yang idealisti. Mereka tidak mau mengkonsumsi maupun mengedarkan narkoba berdasarkan atas alasan (a) dilarang oleh agama, (b) karena merusak kesehatan mental dan fisik, (c) merugikan secara ekonomi, dan (d) merusak citra sosialnya. Tipe orang (anak-anak; remaja; dewasa) biasanya hidup dalam suasana (i) keluarga yang serasi (komunikasi antarkeluarga berjalan saling menghormati tanpa kehilangan status, peran dan tugas masing-masing); (ii) mengenal dan menghayati nilai-nilai dan moral keagamaan dari sejak dini; (iii) sumber rizki yang dikonsumsi, halal dan baik (halalan toyyiba); (iv) memiki orientasi kehidupan ke depan yang jelas (cukup berpendidikan, serta berprestasi). Karena alasan-alasan itu, mereka memiliki pertahanan diri (self mechanism ) terhadap rayuan yang diyakini mubazir. Tipologi orang semacam ini, bisa hidup di desa maupun di kota (yang banyak gangguan). Sayangnya, jumlah orang dalam kategori ini sedikit.
Kategori pertama yang adaptif instrumentatif, memiliki daya pertahanan yang baik terhadap narkoba, hanya saja alasan (argumentasi) yang dijadikan landasan, tidak disangkut-pautkan dengan penghayatan keagamaan, melainkan karena mengkonsumsi narkoba itu tidak memberi nilai keuntungan apa pun tetapi justru merugikan. Tipe ini juga baik tetapi tidak terlalu ideal. Masalahnya, jika suatu saat tergiur oleh keuntungan ekonomi, kendatipun mereka tidak mengkonsumsi, bisa jadi akan mengambil peluang untuk mengedarkan (menjadi pedagang; penyalur), atau kalau menjadi pejabat (memberi peluang kepada cukong atau pengedar untuk mendapatkan fee).. Hanya saja perlu dikritisi, kalau misalnya peredaran narkoba sudah berjalan secara terang-terangan alias transparan dan sangat mudah untuk mendapatkannya, jangan-jangan ada sesuatu yang mulai tidak beres.
Kategori kedua yaitu orang-orang (anak, remaja, dewasa) yang maladaptif, adalah kategori yang rentan terhadap “rayuan” narkoba. Ada berbagai alasan mengapa mereka rentan, atau sangat mudah dibujuk untuk mengkonsumsi, bahkan sebagiannya sudah menjadi pelanggan narkoba. Kerentanan itu bisa disebabkan oleh dua alasan sehingga bisa dibagi lagi menjadi dua. (a) memiliki kemampuan membeli dan ingin mencobanya dengan berbagai dalih, seperti menganggapnya sebagai: (i) lambang pergaulan modern; (ii) ambang kejantanan; (iii) menambah kenikmatan (syuur; fly) terutama kalau akan manyalurkan libido (syahwat) atau (iv) hidup penuh kebosanan.
Benarkah bahwa mengkonsumsi narkoba sebagai lambang ke-modern-an dan kekota-an? Tentu tidak benar. Menganggap bahwa narkoba lambang modern dan kota, adalah misperseption (persepsi yang keliru). Memang gejala menkonsumsi narkoba bisa saja muncul pertama kalinya dilakukan oleh sebagian warga kota, tetapi mereka adalah warga kota yang kehilangan orientasi.
Bagaimana kalau dilihat sebagai lambang kejantanan? Jawabannya justru sebaliknya. Orang-orang yang mengkonsumsi narkoba adalah tipologi manusia yang tidak mampu lagi mempertanggungjawabkan diri terhadap perbuatannya. Ingin mengumbar nafsu dengan lebih dahulu melemahkan kesadarannya (tidak sadar; fly ) sehingga tidak sadar terhadap apa yang dikerjakannya. Bukankah ini citra dari sang pengecut?
Melarikan diri dari kebosanan? Bisa jadi, tetapi mengapa hidup dirasa membosankan dan mengapa pelariannya kepada narkoba? Bosan bisa muncul dari berbagai alasan. Hidup dianggap tidak bermakna (meaningless) karena rumah, tetapi tidak memberi suasana nyaman. Ketidaknyamanan di rumah bisa terjadi sebagai akibat dari orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak punya waktu lagi memperhatikan anak-anak. Karena ada uang (biasanya orangtua yang kehilangan waktu untuk memperhatikan/mendidik anak-anaknya, mengambil jalan pintas dengan cara mengkompensasi karena rasa bersalahnya kepada anak dengan mengumbar uang). Pada saat mereka merasakan kebosanan sementara di saku ada uang, maka anak-anak muda cenderung mencari hiburan. Sayangnya, hiburan yang dipilih bukan hiburan yang bisa mengembangkan penalaran intelektual dan pengembangan perasaan, kemantapan emosional, dan ketrampilan, melainkan hiburan yang berisiko: mengkonsumsi narkoba.
Jika bukan dalam deskripsi di atas, ada juga mereka (meski tidak mengkonsumsi) tetapi mengedarkannya. Orang yang mengambil keputusan demikian (menjadi pengedar, menjadi backing peredaran ), adalah tipologi manusia yang egoistik, memikirkan keuntungan diri tanpa mau tahu (apalagi bertanggungjawab) terhadap rusaknya (baik moral, mental maupun fisik) seseorang manusia yang lain. Karena itu, jika seseorang itu adalah pemuda (orang muda, single) maka dia juga cenderung akan memanfaatkan hasil keuntungannya itu untuk tindakan-tindakan kemaksiatan lainnya. Entah untuk berjudi, main perempuan atau pemenuhan nafsu libido. Sedang jika dia adalah kepala keluarga, maka keuntungan (uang) yang dibawanya pulang, akan berubah menjadi virus yang akan mengubah hati (qolbun) keluarganya. Artinya, rizki yang bersumber dari barang haram, jika dimakan akan menjadi benih munculnya nafsu setan.
Kelompok orang yang maladaptif dan mengkonsumsi (menyalahgunakan) narkoba itu bisa jadi bukan dari kategori keluarga (anak) orang kaya, melainkan secara ekonomi termasuk kategori orang tidak mampu. Karena itu jenis narkoba yang dipilihnya adalah jenis-jenis obat (bius) yang murah harganya seperti pil koplo, atau jenis obat campuran berbagai ramuan yang bisa dibeli di warung-warung pinggir jalan. Orang (anak, remaja, dewasa) tipologi ini, bukan saja rentan mengkonsumsi tetapi juga (nantinya) akan dimanfaatkan oleh “pedagang” sebagai pengedar.
Kategori orang-orang semacam ini mengapa memilih (baca: terjerumus) ke dalam (ketagihan) narkoba, bisa karena berbagai alasan yang melatarbelakangi. Menurut Seemen (1972: 184-7), penyebabnya ialah terjadinya alienation (perasaan terkucilkan, terasingkan oleh lingkungannya). Perasaan terkucil (terasing) seperti itu bisa muncul karena dirinya merasa tidak berdaya (powerless), tak bermakna (meaningless), tak adanya norma (normlessness), adanya penyingkiran (isolation), dan tidak adanya identitas atau kebanggaan (self estrangement )
Jadi, krisis identitas tetapi ketika mencari identitas (group) ternyata keliru (sosial, kesehatan, agama) yang dipilihnya, sehingga terjerumus ke dalam (ketagihan) menyalahgunakan narkoba.
5. Solusi
Ada tiga level dalam kaitannya dengan solusi mencari jalan keluar dari masalah penyalahgunaan narkoba. Pertama, pada level individu; kedua, pada level masyarakat; dan ketiga, pada level pemerintahan.
Di dalam level individu berarti masing-masing individu marasa perlu meyakinkan dirinya bahwa ditinjau dari sudut mana pun, mengkonsumsi narkoba, mafsadat-nya (kerusakannya) jauh lebih besar daripada maslahat-nya (kebaikannya). Jika sadar demikian, maka jangan merusak diri (dari segi ekonomi, segi kesehatan, nama baik secara sosial, maupun dari kasih sayang Tuhan). Menghadapi masalah dengan cara mengkonsumsi narkoba, adalah bukan penyelesaian tetapi pelarian diri. Orang yang melarikan diri dari masalah, di samping dapat dikategorikan sebagai pengecut juga akan menimbulkan massalah baru. Massalah baru itu (apalagi kalau sudah ketagihan) akan berisiko perkepanjangan. Hidup hanya sekali, mengapa tidak menjadikan hidup ini berarti? Jadi, bagi yang belum, “jangan ada keinginan coba-coba”. Bagi yang sudah, “hentikan saat ini juga. Hapuslah keburukan dengan malakukan kebaikan”.
Kebaikan-kebaikan itu di antaranya ialah “ berpikir positif’. Ingat pada setiap kesulitan, selalu ada jalan keluarnya. Jika tidak tahu, bertanyalah kepada ahlinya. Jika tahu bahwa orang yang lari ke narkoba di antaranya karena kondisi resah menghadapi masalah hidup seperti persaingan, sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya pandapatan, tidak cukupnya biaya untuk memenuhi kebutuhan, maka tugas mulia kita adalah jangan menciptakan keresahan bagi orang lain. Seperti nasihat orang Jawa : paring pangan marang wong kang luwe; pareng banyu marang wong kang ketelak; paring sosok marang wong kang kawudan; paring teken marang wong kang kaluyon; lan paring obor marang wong kang kepetengan”. Di sinilah arti kemanusiaan kita terujudkan, dan di sini pula tinggi rendahnya harga kita yaitu seberapa besar memberi manfaat bagi (kehidupan) orang lain, seperti sabda Rosul: Khoirun naas anfa’uhum lin naas.
Pada level masyarakat, bisa dimulai dari skala kecil seperti keluarga, sampai masyarakat dalam arti luas dan kompleks. Pada skala keluarga, kondisi yang bisa dibangun untuk membentengi anggota keluarga dari kemaksiatan mengkonsumsi narkoba, bisa dimulai dari kepala keluarga (ketua somah). Ciptakan komunikasi saling menghargai dan menghormati sehingga masing-masing di antara anggota keluarga merasakan aroma baiti jannati (rumahku adalah surgaku). Bagaimanakah kalau yang mengkonsumsi narkoba justru kepala somahnya? Jawabnya, “hentikan dan bertobatlah!”.
Pada skala masyarakat, ini mungkin agak sulit ketika kondisi sosial dewasa ini semakin tidak jelas, dalam arti standart nilai dan norma keadilan, hukum, sosial poltik dan sosial ekonomi termasuk kontrol sosial mulai melemah. Carut marutnya kondisi demikian, dalam satu segi, perlu dipahami sebagai masa transisional, tetapi dalam segi yang lain, justru dari sinilah kita perlu mempertegas peran dan tugas moral kita yakni amar ma’ruf nahi mungkar. Jadi tidak cukup hanya berusaha berbuat baik tanpa diikuti dengan (ikut) mencegah wabah kemungkaran yang berlangsung di lingkungan kita. Bukankah addinu nasihat ?
Untuk bergerak ke arah nahi mungkar berdasarkan konsep addinu nasihat tadi, perlu adanya strategi, yaitu identifikasi masalah, analisis munculnya masalah, alternatif-alternatif pemecahan, dan distribusi dan tugas koordinasi secara lintas sektor.
Pada akhirnya, tugas seperti itu bisa dimulai oleh negara yang direpresentasikan oleh pemerintah (daerah). Dari sinilah rumah besar kita. Sebagai rumah besar, apakah kita rela kalau sebagian dari para penghuninya mengidap penyakit? Semoga mereka yang diberi amanah, tidak justru sebagai pengidap dan penyebar penyakit itu sendiri.**


http//staff.undip.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar