Jumat, 07 Januari 2011

jakarta tempo dulu

TAMPANG JAKARTA TEMPO DULU

Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang. Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjung Priok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921).
cubuk3.jpg (17691 bytes)
Wanita pribumi mandi di kali.
Setiba di Pelabuhan Tanjung Priok, saat akan naik ke kereta api, saya sadar bahwa keadaan di sini berbeda dibandingkan dengan negeri mana pun. Tidak ada yang berebut, berteriak, atau bergegas. Kuli-kuli yang bertelanjang kaki dengan santai memanggul peti-peti besar kepunyaan penumpang kapal. Dengan sabar pula mereka menunggu di kantor dan di peron. Kalau ada orang Eropa yang menganjurkan untuk bergegas, mereka memandang dengan wajah yang keheranan. Kenapa “orang Belanda” ini sangat tidak sabar? Waktu ‘kan banyak. Seakan-akan tidak ada hari esok saja. Tergesa-gesa malah celaka nanti!
Akhirnya, kereta berangkat juga, melewati daerah setengah hutan dan setengah rawa. Di sebelah kanan terdapat kanal yang panjang, lurus, dan airnya kehitaman. Saya tiba di stasiun Batavia saat matahari sudah terbenam.
Saya memanggil salah satu kereta kecil beroda dua yang menunggu di depan stasiun. Bentuknya aneh. Lenteranya besar-besar. Kudanya kecil. Kereta itu lewat di jalan besar yang tepi-tepinya dipayungi pepohonan. Sementara itu burung-burung berkicau dengan cerewetnya di antara dedaunannya. Kadang-kadang tercium bau bunga di udara yang tidak berangin. Bunganya sendiri tidak kelihatan.
Dalam kegelapan kami melewati gedung tinggi berwarna putih. Konon itu kediaman gubernur jenderal. Setelah jembatan, dari belokan, tampak sederet jendela toko yang terang benderang di sebelah kiri jalan. Ada juga gedung perkumpulan. Di kanan jalan ada kanal yang diterangi lampu-lampu jalan. Banyak orang berjalan-jalan. Kereta-kereta lewat membawa kaum wanita. Saya sudah tiba di tujuan saya, di Rijswijk (sekarang Jl. Majapahit -Red.) yang terletak di pinggiran Kota Batavia.
Naga di celana
Siang hari cahaya matahari sangat terik. Penjual air yang berkain dan bertelanjang dada lewat memikul kaleng-kaleng air. Bahunya yang coklat berkilat-kilat. Ada juga yang memanggul pikulan bunga, buah, cita, dan batu akik. Kepala mereka dilindungi dengan topi jerami yang lebar dan berbentuk jamur.
Lewat pula orang-orang Arab yang berwajah serius dan orang-orang Cina yang mengobrol sambil tangan mereka tidak henti-hentinya digerakkan.
Orang-orang Eropa sebaliknya tidak kelihatan, kecuali yang lewat dengan bermacam-macam kereta. Rupanya, mereka tidak tahan akan teriknya matahari.

cubuk4.jpg (14675 bytes)
Pemandangan sebuah sudut kota.
Orang-orang Eropa sesama penghuni hotel saat itu berada di beranda-beranda yang teduh, bermalas-malasan sambil minum limun dingin dilayani pelayan-pelayan pribumi. Sebagai pendatang baru, saya terkejut melihat pakaian mereka. Kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya!
Kebaya itu semacam baju dari kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran. Di bagian depannya disemat dengan peniti-peniti hiasan yang diuntai dengan rantai emas. Sarung adalah sepotong kain warna-warni yang dilipat di bagian depan dan diikat di pinggang dengan ikat pinggang sutera.
Mereka tidak memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di belakang kepala. Menurut saya kurang pantas walaupun orisinal.
Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya. Di saat santai mereka memakai baju tidak berkerah. Celananya dari kain sarung yang tipis, dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada yang kupu-kupu dan naga!
Mulut kebakaran
Tapi yang paling di luar dugaan adalah yang disebut rijstafel. Nasi dengan lauk-pauknya itu bukan disajikan di kamar makan biasa, tapi di beranda belakang. Beranda belakang bentuknya memanjang. Atapnya tinggi disangga tiang-tiang putih. Beranda itu menghadap ke kebun yang ditumbuhi tanaman bunga dan pepohonan.
Makanan disajikan oleh pelayan-pelayan pribumi yang bergerak tanpa suara karena bertelanjang kaki. Potongan pakaian mereka setengah Eropa, dipadukan dengan sarung Jawa dan ikat kepala dari kain.
Saya belum pernah mencicipi makanan seperti itu di darat maupun di laut. Makanan utamanya nasi dengan ayam. Tapi di samping itu masih ada ikan, daging, potongan-potongan daging dalam pelbagai saus, pelbagai kari, acar, hati ayam, telur ikan, rebung, dan entah apa lagi. Semua diberi bumbu yang baunya menyengat dan semua diberi cabai. Pokoknya, setiap hari koki mesti menyediakan sekitar 20 macam masakan. Mengherankan, perut pemakannya bisa tahan.
Anehnya lagi, semua itu dimakan dengan memakai sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri! Masih ada lagi tumpukan pisang, manggis, nenas, rambutan, duku.
Nasi dan lauk pauk ditumpukkan di piring saya. Langsung bibir saya gemetar kepedasan. Leher saya kebakaran sehingga mesti diguyur air. Sementara itu air mata saya bercucuran. Salah seorang yang merasa kasihan kepada saya menyarankan agar menaruh sedikit garam di lidah. Saya menurut dan tak lama kemudian siksaan itu pun berakhir. Sambil terengah-engah, saya bersyukur karena saya masih hidup. Saya bersumpah tidak mau mencoba rijstafel lagi.
Namun, saya melanggar sumpah itu. Pengakuan ini saya nyatakan dengan bangga. Sekarang saya bisa makan nasi dan menyukainya.
Lain siang, lain malam
Selesai makan siang, saya diberi tahu bahwa sekarang saatnya untuk tidur siang. Mungkinkah makanan yang bermacam ragam dan pedas itu membuat orang jadi mengantuk? Ataukah suhu yang panas dan cahaya yang menyilaukan membuat orang ingin tidur? Apa pun alasannya, saya merasa senang bisa masuk ke kamar saya yang teduh dan sunyi.

cubuk8.jpg (14964 bytes)
Pedagang Tinghoa dan kuli pikulnya.
Dinding kamar itu temboknya putih saja, tidak dilapisi kertas dinding. Langit-langitnya juga demikian. Lantainya ubin merah. Di tengah ada kursi-kursi dari anyaman rotan dan di bawahnya ada sebidang tikar anyaman. Alangkah senangnya saya menyentuh lantai yang tidak berkarpet itu. Kaki terasa sejuk. Dinding yang tidak dilapisi apa-apa itu pun memberi rasa segar.
Tidur siang berlangsung sampai pukul empat sore. Setelah itu orang mulai berseliweran di muka jendela kamar saya. Handuk mereka berkibar sementara alas kakinya berbunyi saat beradu dengan lantai. Mereka bergegas ke kamar mandi.
Pukul lima sore teh dibawa ke beranda. Saat itu udara mulai agak sejuk. Angin sepoi-sepoi meniup daun-daun pohon beringin yang lebat di kebun dan mengayunkan akar-akar gantungnya ke sana ke mari. Bunga-bunga tanjung yang putih berguguran dari cabang-cabangnya sambil menyebarkan keharumannya ke mana-mana.
Warna tembok yang putih menyilaukan kini jadi agak merah jambu. Awan sirus yang lembut seperti bulu melayang tinggi di langit yang biru tua, tempat kalong-kalong mulai terbang berputar-putar. Pukul enam hari mulai gelap. Orang-orang yang duduk di beranda mulai meninggalkan teh mereka.
Setengah jam kemudian, saya lihat kaum wanita keluar mengenakan rok buatan Paris sedangkan kaum pria mengenakan setelan jas malam. Beranda depan hotel, sebuah bangsal besar yang disangga tiang-tiang, sudah terang-benderang. Seorang gadis duduk menghadapi piano, memainkan lagu-lagu seperti yang digubah oleh Grieg dan Jensen.
Ketika pukul delapan menghadiri makan malam, saya dapati menunya sama seperti yang ditemukan di hotel-hotel Eropa. Sulit bagi saya membayangkan kembali ketercengangan saya menyaksikan adegan-adegan tadi siang yang mengguncangkan gagasan Eropa saya. Rijstafel, sarung kebaya, pelayan-pelayan pria yang berpakaian setengah Eropa setengah Jawa, semua serasa cuma mimpi. Saya baru percaya bahwa hal itu sungguh-sungguh terjadi tatkala ada tangan langsing berwarna coklat mengangkat piring ikan saya untuk diganti dengan asparagus.
Sudah berlangganan banjir
Yang disebut “kota” adalah Batavia lama. Penampilannya kelabu, suram, dan tidak berjiwa, seperti kota-kota Eropa yang menjadi korban perang. Memang “kota” ini didirikan sebagai benteng pada tahun l620 di reruntuhan Jacatra.
Kini sudah tidak ada lagi tentara di sana. Rumah-rumah megah gaya Belanda abad XVII sudah kehilangan pamornya dan berubah menjadi kantor atau gudang. Kota lama ini cuma hidup beberapa jam sehari, yaitu saat jam kerja. Begitu gemuruh trem terakhir meninggalkannya, ia kembali sunyi dan mati.
Kehidupan sudah bergeser ke selatan. Di sini terdapat jalan-jalan besar yang diapit oleh deretan rumah-rumah berhalaman luas. Untuk menandai batas halaman dari jalan, tidak didirikan tembok pemisah, cukup tonggak-tonggak batu rendah.
Rumah-rumahnya berwarna putih dan memakai pilar-pilar. Letaknya jauh dari jalan. Sementara itu di halaman tumbuh tanaman bunga-bungaan dan pepohonan yang meneduhi jalan dan halaman itu sendiri.
Lapangan yang paling terkenal di Batavia adalah Koningsplein (Medan Merdeka – Red.) yang berbentuk trapesium di depan kediaman gubernur jenderal. Kelilingnya ditanami tiga deret pohon asam. Di lapangan itu kita bisa melihat ternak kurus-kurus sedang merumput. Kadang-kadang ada ular dan tonggeret menyelinap di rerumputan.
Di musim kemarau, lapangan itu botak dan coklat. Tanahnya pecah-pecah. Kemudian tibalah musim hujan. Air seakan-akan dicurahkan dari langit. Jalan-jalan dan rumah-rumah kebanjiran. Namun, pohon-pohon yang meranggas bertunas lagi, dan lapangan itu tiba-tiba saja berselimut rumput hijau.
Miskin tapi bahagia
Rijswijk (Jl. Majapahit – Red.), Noordwijk (Jl. Ir. H. Juanda), dan Molenvliet (Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk) merupakan daerah perdagangan di Batavia yang kesannya lebih Eropa daripada Koningsplein. Namun, ada juga unsur Jawanya.
Sejajar dengan Noordwijk ada kanal yang mengingatkan pada gracht di Amsterdam. Airnya hijau kecoklatan. Di atas kanal itu ada jembatan-jembatan.
Di kanal itu perahu-perahu membawa barang dan menyeberangkan orang. Perahu itu memiliki bagian yang beratap. Pemilik dan keluarganya tidur dan memasak di perahu. Ada juga rakit-rakit bambu yang ujungnya mencuat ke atas.
Wanita-wanita pribumi yang rambutnya hitam lebat, panjang, dan masih basah sehabis mandi di kanal, naik ke tepi. Sementara itu para penjaja makanan mangkal di bawah pohon asam yang tumbuh sepanjang kanal. Ada yang berjualan kue, buah, maupun minuman manis.
Di sisi jalan terdapat bungalow-bungalow berkapur putih dan memiliki kebun. Kebunnya tidak subur dan jalannya berdebu.
Di pojok-pojok jalan ditemukan sado. Kusirnya memakai semacam rompi berbunga-bunga. Tiap seperempat jam lewat trem uap dengan suara bising di sepanjang kanal. Gerbong kelas tiga “kereta setan” itu penuh sesak dengan penduduk pribumi.
Anak-anak pribumi di tempat ini selalu berbahagia. Padahal mereka tidak mempunyai mainan dan tampaknya juga tidak mempunyai permainan. Paling-paling mereka kecebar-kecebur di kali, menguntai bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung, atau mengikat kaki belakang kecoak dengan tali. Mereka juga telanjang. Namun, seperti orangtua mereka, walaupun kekurangan dan tampaknya tidak memiliki alasan untuk berbahagia, kenyataannya mereka puas.
Mereka memiliki anugerah khusus untuk merasa bahagia dan menikmati hidup ini.
Pecinan
Kalau kita mengikuti kanal ke arah pintu air dan melewati bangunan kantor pos yang buruk, kita akan tiba di jembatan Kampung Baru (Pasar Baru – Red.). Kalau kita menyeberang jembatan itu, tiba-tiba kita seakan-akan masuk ke dunia lain. Jalan yang lebar di sini diapit oleh rumah-rumah yang tinggi dan sempit. Atap gentengnya yang merah seakan-akan menantang langit yang biru lazuardi.
Jalannya ramai dilewati oleh gerobak dan orang yang berlalu-lalang dengan gesit. Inilah Pecinan. Di Batavia ada tiga atau empat Pecinan yang cuma dihuni oleh orang-orang Tionghoa.
Sekarang mereka memang memilih untuk tinggal berkelompok. Namun, sebenarnya kebiasaan ini peninggalan zaman Gubernur Jenderal Valckenier. Waktu itu gubernur jenderal membatasi kedatangan orang-orang Tionghoa yang miskin. Walaupun niatnya baik, pelaksanaannya buruk, sehingga timbul kabar bahwa pemerintah akan mendeportasi penduduk Tionghoa, juga yang tinggal di Batavia. Terjadilah kepanikan yang menghantar ke pemberontakan di seluruh Jawa.
Orang Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu dengan menelan banyak korban. Orang-orang Tionghoa melarikan diri ke daerah sekitar Batavia. Beberapa bulan kemudian pemerintah memberikan amnesti umum.
Sisa penduduk Tionghoa yang masih hidup ditempatkan dalam kawasan khusus, supaya mudah dilindungi maupun dikendalikan. Tempat itu kira-kira seperti ghetto untuk orang Yahudi di Italia pada Abad Pertengahan. Sejak itu mereka tinggal di sana.
Mereka itu terdiri atas jutawan yang bisa menjamu perwira dan pejabat pemerintah di rumahnya yang megah dan penuh hiasan, ada pula penjaja keliling yang sepanjang hari menelusuri jalan untuk menawarkan benang dan sabun yang dibawa dalam buntelannya sambil tak henti-hentinya membunyikan “klontong”-nya.
Walaupun yang satu bergelimang harta sedangkan yang lain morat-marit, namun jiwa dan sikap hidup mereka sama. Mereka hidup untuk berdagang. Seorang Tionghoa berdagang dengan seluruh hati dan jiwanya. Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, saat makan, saat bersantai, saat mengisap madat, dan di kelenteng sekalipun, mereka tidak pernah melepaskan dirinya dari perdagangan.
Lain dengan orang Barat. Kalau orang Barat berdagang, maka mereka menjadi pedagang cuma beberapa jam sehari, di kantornya.
Bagi orang Tionghoa, perdagangan adalah unsur di mana mereka hidup, bergerak, dan bereksistensi. Dunia baginya adalah kesempatan luas untuk menghasilkan uang. Semua yang ada di dunia bisa diperdagangkan, dipakai mencari untung. Orang lain boleh rugi, mereka mesti untung.
Kebutuhan hidupnya sangat terbatas, modalnya juga, tetapi keyakinannya besar. Tidak heran kalau mereka sukses.
Mulai sebagai penjaja keliling
Ketika baru mendarat di Tanjung Priok, seorang Tionghoa biasanya mulai menjadi penjaja keliling. Dengan bertelanjang kaki ia menggendong buntelan berisi sabun, benang jahit, sisir, dan korek api.
Beberapa bulan kemudian, kita akan melihatnya di halaman rumah kita, dikelilingi seluruh pembantu rumah tangga kita. Saat itu ia sudah berjualan sarung dan cita.
Setahun berlalu. Kita melihatnya berjalan diikuti seorang kuli yang memikul barang-barang banyak sekali. Dengan sopan ia akan menawarkan barang-barang itu kepada kita.
Kalau kita sabar sedikit mengikutinya, kita akan sempat melihat ia membuka warung kecil yang cuma dilengkapi sebuah bangku dan sepotong kaca di dinding. Sementara itu di sekelilingnya ada segala macam barang dagangan.
Ia tidak puas hanya dengan memiliki warung. Beberapa tahun kemudian dia sudah berdiri di belakang gerai sebuah toko di Pecinan. Kalau kita sempat memandang istrinya sekilas, kita akan heran melihat betapa besarnya intan-intan di tusuk sanggul wanita itu. Si penjaja keliling sudah merintis jalan ke kemakmuran sekarang.
Sebelum mencapai umur 50 tahun, ia sudah memiliki rumah besar yang terpisah dari tokonya. Rumah yang mempunyai altar untuk memuja para dewa dan moyangnya, rumah yang penuh perabot berukiran halus dan bercat keemasan. Sekarang ia akan mengundang kita ke rumahnya untuk merayakan Tahun Baru Imlek.
Kalau kebetulan Anda datang bersama istri, ia akan memperkenalkan istri Anda kepada istrinya yang bertaburkan intan dan berpakaian warna-warni. Dia akan menceritakan kepada Anda perihal pemakaman ayahnya yang menelan biaya lebih dari 3.000 ponsterling. Lalu dia akan meminta saran Anda perihal sampanye dan juga rencananya mengirim putranya ke Eropa dengan salah satu dari sekian banyak kapalnya. Setelah putranya melihat dunia, ia akan memasukkannya ke Universitas Leiden.
Mesti mandi setiap hari
Di Batavia yang panas, orang-orang Belanda mulanya membuat rumah bertingkat di tepi kanal seperti di tanah airnya. Mereka juga mempertahankan mantel dan pakaian bludrunya, tidak peduli matahari luar biasa teriknya. Tidak heran kalau sedikit saja yang bisa pulang selamat ke Belanda.
Kemudian mereka insaf bahwa di negeri yang panas ini, yang mereka perlukan adalah rumah yang teduh dan sejuk. Jadi mereka membuat bungalow, bukan rumah bertingkat. Kelilingnya kerap diberi beranda supaya teduh.
Untuk memasuki rumah, kita menaiki beberapa anak tangga dulu, lalu kita tiba di serambi yang disangga pilar-pilar. Melalui pintu di tengah yang sepanjang hari terpentang, kita masuk ke sebuah ruangan yang di kiri-kanannya terdapat jajaran kamar-kamar tidur.
Ruang ini menuju ke serambi belakang yang lebih lebar dari serambi depan. Kebanyakan orang duduk-duduk di sini. Meja makan pun diletakkan di sini.
Serambi ini menghadap ke kebun belakang yang ketiga sisinya dikelilingi bangunan. Ada bangunan tempat tinggal para pembantu bersama keluarganya, ada dapur dan gudang, ada kamar mandi dan istal.
Ada lagi bangunan tambahan yang disebut paviliun untuk tamu menginap. Orang-orang di Hindia Belanda paling murah hati dalam menerima tamu, entah itu kerabat, teman, ataupun orang asing yang dibekali surat dari kenalan bersama di Holland. Tamu bisa menginap berbulan-bulan.
Supaya terasa sejuk, lantai rumah yang terbuat dari marmer tidak diberi karpet. Tempat duduk pun dibuat dari kayu dan anyaman rotan, bukan dari bludru.
Demi kesejukan pula, di sini orang sudah bangun pukul setengah enam atau paling lambat pukul enam pagi. Siang hari, saat sedang panas-panasnya, orang sembunyi di kamar untuk tidur.
Mandi beberapa kali sehari adalah keharusan. Kalau tidak mandi, artinya tidak sopan. Mandi di Hindia berbeda dengan mandi di Eropa. Kita mengguyur badan dengan bergayung-gayung air. Memang suatu kenikmatan buat jiwa dan raga. Kamar mandinya besar dan sejuk, terpisah dari bangunan utama.
Celana monyet
Seperti halnya dengan rumah, pakaian Eropa memang menyiksa di daerah tropis. Hal ini saya sadari setelah dua minggu di sini. Saya jadi mengerti mengapa mereka memakai pakaian longgar dan tipis gaya pakaian penduduk asli yang dimodifikasi itu. Walaupun aneh, tapi sejuk.
Harus diakui bahwa dengan pakaian itu orang-orang Belanda di Hindia lebih sehat daripada orang-orang Inggris yang mempertahankan pakaian Eropa di koloni mereka.
Anak-anak orang Belanda di Hindia lebih terbuka lagi pakaiannya. Mereka mengenakan pakaian yang disebut penduduk Melayu celana monyet. Pakaian yang cuma sepotong itu tidak cukup untuk menutupi badan. Leher, lengan, dan tungkai dibiarkan telanjang. Walaupun jelek, anak-anak senang memakainya.
Anak-anak Hindia tidak terpisahkan dari babu. Pengasuh pribumi itu pelindung jiwa-raga si anak, seakan-akan malaikat pelindung saja. Sepanjang hari babu menggendong anak asuhannya dengan selendang, yaitu sehelai kain lebar yang diikat ke pundak dan membentuk semacam tempat tidur ayun bagi si anak.
Babu bahkan tidak mengizinkan ibu si anak mengambil anak itu daripadanya. Dialah yang menyuapi, memandikan, mendandani, mengajak berjalan-jalan, dan selalu siap mendekap si anak supaya merasa aman.
Ia mengajak anak asuhannya bermain bukan karena kewajiban, tetapi karena ia memang menikmatinya. Di dalam hatinya ia masih seorang anak. Kadang-kadang mereka bertengkar. Si anak membanting-banting kaki dan si babu memarahi, “Terlalu!”
Malam hari ia mengeloni si kecil sambil meninabobokannya dengan melodi berkunci minor yang monoton. Setelah anak asuhannya terlelap, ia menggelar tikar di depan ranjang dan rebah menjaga majikan kecilnya dengan setia.
Diundang ke istana
Gaji orang Belanda di Jawa lebih tinggi daripada di negerinya. Soalnya, siapa yang mau dikirim jauh-jauh dan bekerja dalam udara panas yang melelahkan kalau gajinya sama saja?
Orang yang gajinya sedang-sedang saja di Jawa bisa memiliki rumah yang besar, punya kereta, makan dengan leluasa, dan pembantu enam tujuh orang. Bahkan tidak jarang sampai l0 orang.
Tak lama setelah kedatangan saya ke Batavia, saya diundang ke pesta dansa di istana. Saat itu saya tinggal di rumah teman saya di Salemba. Kami pergi dengan kereta yang lewat di kegelapan malam, di bawah naungan pohon-pohon beringin. Di bawah pohon kadang-kadang terlihat kelap-kelip cahaya pelita tukang buah. Sekali-sekali sebagian wajahnya yang kena cahaya lampu terlihat, begitu pula keranjang buah-buahannya.
Sekali kami melewati beberapa penduduk pribumi yang sedang berjaga malam sambil mengelilingi api unggun. “Siapa itu?” tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.
Selama sejam kami serasa berkendaraan dalam hutan yang sunyi dan jauh dari mana-mana. Namun, sekonyong-konyong saja tampak cahaya terang benderang di suatu belokan. Istana Gubernur Jenderal. Di sekitar sumber cahaya itu berserak lentera-lentera, lampu-lampu minyak, dan lampu-lampu kereta.
Saya pun mendaki tangga putih menuju ke serambi yang berpilar-pilar putih dan bermandikan cahaya. Tiba-tiba saya merasa bahwa istana-istana dalam dongeng mestinya seperti ini.
Kemudian musik dimainkan dan polonaise dimulai. Intan dan emas gemerlapan, bersaingan dengan kilatan bahu yang terbuka dan lambaian rok yang menyapu lantai pualam berwarna terang …. “Rasanya, kita mesti pindah ke tempat ini,” kata pasangan saya.
Sejak itu saya sering diundang ke pesta dan perjamuan. Ada yang menyenangkan, ada pula yang membosankan.
Naik pangkat lewat KKN
Walaupun membosankan, seorang pegawai pemerintah tidak berani tidak hadir di pesta atasannya. Absen ke perjamuan bisa mengalangi ia naik pangkat. Istri atasannya bisa mempengaruhi nasibnya. Kalau istri bos tidak berkenan pada istri anak buah suaminya, jangan harap anak buah itu bisa meniti jenjang karier.
Pegawai pemerintah yang ingin naik pangkat memang tidak bisa cuma mengandalkan kepandaian dan prestasinya, tapi juga latar belakang keluarganya dan “keterampilan khusus”. Umpamanya saja, kalau bosnya doyan makan enak, mungkin dia perlu mengantarkan pate-de-foie-gras (makanan mahal dari Prancis yang dibuat dari hati unggas) dan anggur burgundy. Kalau bosnya bangga betul pada putrinya, maka berbahagialah dia yang pandai berdansa dan rajin meminta anak bos berdansa dengannya di pesta-pesta. Kalau bos keranjingan main kartu, beruntunglah dia yang pandai dan tahan meladeni bos main kartu dalam pertemuan-pertemuan di rumah bos.
Semua hari besar yang berkenaan dengan bos sebaiknya diingat baik-baik. Kalau perlu, catatannya ditempel di kaca rias supaya jangan luput dari ingatan. Pada hari itu, begitu lonceng berbunyi tujuh kali di sore hari, buru-buru sajalah berangkat ke rumah bos.
Bagi pendatang baru, birokrasi seperti itu tentu saja sangat menyebalkan, tapi lama-kelamaan mereka jadi terbiasa. Namun, setinggi apa pun pangkat pejabat pemerintah di Jawa, ia mesti pandai menahan diri, sebab kalau ia kembali ke den Haag, ia cuma akan menjadi sekadar Meneer Jansen atau Meneer Smit, bukan residen lagi. Lagi pula teman sepergaulannya di Jawa bukan cuma pejabat.
Belanda yang sudah lama di Jawa, sikapnya lebih luwes daripada Belanda “baru”. Bungalow di Batavia yang terbuka, yang dinaungi pohon-pohon tinggi, rupanya mencairkan kekakuan yang terbentuk dalam rumah-rumah keluarga yang seperti benteng abad XVII di sepanjang Heerengracht di Amsterdam.
Hidup di luar rumah
Di Jawa, orang Barat dan orang Timur sudah hidup berdampingan selama tiga abad. Yang satu bisa berbicara dalam bahasa yang lain. Mereka saling tergantung dan tidak saling membenci. Namun, orang Belanda tidak memahami orang Jawa dan begitu pula sebaliknya.
Saya mengaku bahwa saya tidak mengenal jiwa orang Jawa, walaupun saya memperhatikan mereka. Yang saya tahu cuma keadaan lahiriahnya saja.
Kebanyakan mereka hidup di luar rumah: mandi di kali, makan di tepi jalan, bahkan tidur di bawah pohon atau emper rumah, di bawah cahaya bulan. Hal ini tentu ganjil sekali bagi orang-orang dari Utara yang terbiasa memenjarakan dirinya di balik kungkungan dinding dan atap. Namun, kalau melihat mereka, kita mesti mengakui bahwa cara hidup mereka itu baik dan cocok buat mereka.
Di Tanahabang, saya sering melihat mereka mandi di kali pagi-pagi sekali. Kaum pria membuka pakaian lalu mencebur dan menyelam di kali. Ketika mereka naik, tubuhnya yang coklat tampak seperti patung-patung perunggu. Kaum wanita turun ke kali dengan cara lebih tenang. Mereka memakai kain basahan. Ibu-ibu muda membimbing anak-anak mereka ke tempat yang dangkal.
Anak laki-laki dan perempuan berenang sambil main ciprat-cipratan dengan berisik. Sementara itu gadis-gadis remaja bercanda di tempat yang teraling tanaman air sambil saling mengguyur dengan gayung dari daun kelapa. Rambutnya yang hitam panjang itu berkilat-kilat dan kain basahannya rapat menempel ke tubuh.
Kadang-kadang lewat rakit. Penumpangnya sedang sarapan di bawah atap. Penumpang rakit saling menyapa dengan orang-orang yang mandi. Kadang-kadang mereka ikut bercanda juga.
Selesai mandi para wanita beriring-iringan naik dan pergi ke tukang bunga. Orang-orang di Jawa senang bunga: melati putih, mawar merah, cempaka kuning, pacar air.
Walaupun tanaman bunga mudah tumbuh di sini, tapi di Batavia saya belum pernah melihat mereka bertanam bunga dekat gubuknya. Paling-paling kembang sepatu di pagar. Mereka juga tidak terbiasa menaruh bunga dalam jembangan. Bunga adalah untuk dipakai di rambut mereka yang panjang, yang dikeramas dengan abu jerami padi dan dibilas dengan air bunga sebelum diberi minyak akar wangi.
Bunga juga ditaburkan di antara pakaian mereka. Motif bunga-bungaan menghiasi pakaian mereka dan ragam hias mereka. Anak-anak meronce bunga tanjung untuk dipakai sebagai kalung. Bunga juga dipakai untuk sesajen.
Makannya sepersepuluh orang Belanda
Di Tanahabang dan Koningsplein, di bagian yang dihuni oleh pribumi, ada warung-warung penjual makanan. Tapi lebih banyak lagi warung-warung yang lebih kecil dan portable. Ada yang mangkal di pinggir kali, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan, di stasiun, di pangkalan sado.
Mereka datang memikul warung berjalannya itu pagi-pagi sekali. Lalu dagangannya yang aneka warna dan piring-gelas-botolnya diatur supaya menarik. Mereka menurunkan anglonya dan mulai beroperasi.
Ada yang menjual nasi dengan ikan asin dan sambel, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwarna putih, pelbagai macam kue manis berwana-warni mencolok yang disajikan di daun pisang segar yang hijau.
Penduduk Jawa sedikit sekali makannya dan tidak mewah. Sebungkus nasi dengan ikan asin dan sambal cukup untuk sehari. Orang Eropa akan menginsafi betapa rakusnya mereka kalau melihat orang Jawa makan. Bayangkan, cuma sepersepuluh dari yang kita lahap. Padahal mereka mesti berjalan kaki sepanjang hari dan memikul beban yang berat.
Tampaknya, mereka penggemar makanan manis. Sambil duduk di dingklik, mereka makan dengan nikmat kue-kue berwarna kuning, putih, merah jambu, dan minum sirup. Anak-anak juga boleh makan.
Anak-anak tidak dipercaya untuk makan sendiri, tapi disuapi. Anak yang masih kecil sekali direbahkan di paha, lalu mulutnya dijejali dengan nasi yang dihaluskan bersama pisang. Mau tidak mau, menangis atau tidak, makanan itu mesti ditelan. Kalau si ibu merasa anaknya sudah cukup makan, barulah penjejalan dihentikan.
Lalu si anak boleh bangkit. Ibunya menyeka air matanya dan mendekapnya. Si anak pun digoyang-goyang sampai tertidur.
Ayam aduan harus dipijat
Sesudah sarapan, penduduk pribumi mulai bekerja. Di kota-kota mereka tidak bisa bertani. Sementara itu pertukangan dan perdagangan kebanyakan berada di tangan orang-orang Tionghoa. Jadi, selain bekerja seperti yang tadi diceritakan, banyak juga di antara mereka yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa.
Menjelang pukul empat, mereka kembali mandi di kali. Lalu mereka merokok atau mengunyah sirih sambil mengobrol. Saat musim kemarau mereka bermain layang-layang di lapangan-lapangan dan taman-taman di Batavia. Layangan mereka ada yang bersayap seperti burung, ada yang seperti naga, ada juga yang bisa berbunyi. Ada yang disebut “sawangan”, “palembang”, “kuncir”, dsb.
Ada juga layangan aduan. Layangan berbentuk trapesium dari bambu dan kertas tipis itu digambari tokoh-tokoh wayang. Benangnya diberi gelasan, yaitu tumbukan beling yang dicampur dengan perekat.
Mereka juga mengadu ayam atau jangkrik, tapi secara diam-diam karena dilarang oleh pemerintah. Dalam semua permainan itu, betapa pun juga serunya, mereka tidak berteriak-teriak seperti orang Barat yang “barbar”. Mereka menjaga perasaannya dan menekan rasa irinya terhadap lawan.
Ayam aduan dipelihara dengan seksama. Hewan itu diberi nasi, air, daging cincang, dan jamu! Takarannya sangat cermat. Secara berkala binatang itu dimandikan, dikeramasi, dijemur, dipijat leher, sayap, dan pahanya supaya kuat dan luwes.
Penduduk pribumi juga senang menonton wayang: wayang orang, wayang kulit. Musik pengiringnya gamelan dan ceritanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana.
Masih banyak buaya
Saya mendengar pelbagai dongeng: dongeng Nyai Loro Kidul, dongeng Kyai Belorong, dan macam-macam lagi. Namun, rasanya buaya-buaya yang hidup di rawa-rawa muara Kali Betawi lebih ditakuti daripada Kyai Belorong. Kadang-kadang reptil itu kelihatan berjemur dengan mulut mengangga. Mereka menunggu bangkai binatang yang dihanyutkan air. Ada kalanya mereka juga menyambar manusia yang sedang mandi.
Karena dianggap berbahaya, beberapa tahun sebelumnya
pemerintah menjanjikan hadiah bagi orang yang bisa menangkap buaya. Lalu berdatanganlah penduduk yang memikul bangkai-bangkai anak buaya dengan bambu. Walaupun bukan buaya dewasa, pembawanya mendapat hadiah juga.
Kemudian baru ketahuan bahwa penduduk bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa lama, anak buaya ini dibawa kepada sekaut (polisi). Sejak itu hadiah dihentikan dan buaya-buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa.
Sesekali ada juga pemburu yang sok mau berburu buaya. Mereka mengintai berlama-lama di rawa-rawa. Yang mereka peroleh bukan binatang buruan, melainkan demam. Demamnya berbahaya lagi!
Jawa bagi saya, seperti bagi banyak orang, memang harus selalu merupakan negeri dalam mimpi, Negeri Dongeng, dan rumah yang bahagia bagi penduduknya. (HI)
dari : intisari/1999/maret

Pendidikan Kewarganegaraan

Deskripsi Mata Kuliah :
Peningkatan kualitas wawasan mengenai kepentingan publik dan kewarganegaraan serta mengerti problematika kontemporer bangsa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di era global, sehingga para mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan mampu memberikan kontribusi solusi pemecahan masalah, bukan menjadi bagian dari problem itu sendiri.  Terbentuknya warganegara yang memeiliki wawasan, sikap dan perilaku yang berparadigma Pancasila, nasionalisme Indonesia yang tepat, berindentitas nasinal, memberikan konstributif bagi pembangunan bangsa dan negara dalam konsep negara bangsa Indonesia. Pemahaman akan sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia yang konstitusional akan mampu memberikan arti penting setiap warganegara dalam kehidupan politik dan bernegara bangsa yang konstitusional. Mata kuliah ini, juga diharapakan mampu membentuk sikap dan perilaku yang mengerti dan mengargai Hak Asasi Manusia, dalam koridor penunai hak dan kewajiban seseorang sebagai warganegara Indonesia sebagai masyarakat madani (civil society) yang demokratis. Mata Kuliah ini, juga memberikan wawasan kewilayahan negara baik historis, yuridis maupun yurisdiksi nasional Indonesia, sekaligus memberikan wawasan geopolitik dan geostrategi upaya pembangunan segala bidang, serta peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan.
Standar Kompetensi :
Mahasiswa memiliki wawasan, sikap dan perilaku yang mampu mengimplementasikan teori, konsep dan prinsip-prinsip kehidupan kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pancasila dan konsitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang demokratis, berjiwa nasionalisme, cinta tanah air, cinta damai dan berkeadaban (taat: nilai, norma, dan hukum) dan keutuhan wilayah (yuridis –yurisdiksi nasional), partisipatif dalam aktivitas pembangunan masyarakat bangsa dan negara bangsa sesuai geopolitik dan geostragi Indonesia, guna mencapai tujuan dan cita-cita bangsa.

Arti Definisi/Pengertian Negara Dan Fungsi Negara – Pendidikan Kewarganegaraan PKn


Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.
Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :
- Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
- Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
- Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk republik yang telah diakui oleh dunia internasional dengan memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang luas serta terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa.
Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.
Fungsi-Fungsi Negara :
1. Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat
Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
2. Melaksanakan ketertiban
Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.
3. Pertahanan dan keamanan
Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
4. Menegakkan keadilan
Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan.
http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-negara-dan-fungsi-negara-pendidikan-kewarganegaraan-pkn
Popularity: 16% [?]

Pendidikan Pancasila

PANCASILA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Era BPUPKI & PPKI:
Pertentangan Ideologi Nasionalis vs Islam
Kekalahan tentara Belanda 1942 kepada tentara Jepang di Kalijati merupakan awal berkahirnya penjajahan Belanda di Indonesia. Kemenangan Jepang tersebut –semula- disambut gembira oleh rakyat Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di bahwa penjajahan Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia akan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dalam waktu dekat1.
Strategi Jepang untuk menjajah Indonesia memang cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk mengganti untuk sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu, pegawai pangreh praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan gajinya. Tentara Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia2. Dengan sangat strategis, tentara Jepang juga merekrut intelektual Indonesia dengan memberinya wadah Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942 yang bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan idea-idea mereka tentang nilai-nilai budaya bangsa Indonesia baik untuk kepentingan Jepang maupun untuk kepentingan Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan3. Bahkan setelah kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang diketuai oleh empat serangkai, Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansur, yang mendapat sambutan hangat dari rakyat. Setelah itu dibentuklah berbagai organisasi massa seperti Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heiho yang terkenal dengan PETA yang diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya adalah strategi Jepang untuk ‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang melawan Sekutu.
‘Kekalahan’ Jepang secara beruntun dalam perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin administrasi militer di Indonesia yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah Jepang memberi janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan pengamatannya kesengsaraan bangsa Indonesia di bawah pemerintah Tentara Pendudukan sudah tidak tertahankan lagi. Maka kalau Jepang secara eksplisit tidak memberikan janjir kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia tentu mereka akan berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian diterima oleh Pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Koiso. Maka tanggal 7 September 1944, Koiso mengumumkan ke seluruh dunia di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat4.
Pemberian kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai yang disebut kemudian sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 1 Maret 1945. Pengangkatan 29 April 1945, Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo), bukan Soekarno, yang pada waktu itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang utama. Pengangkatan tersebut disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai anggota biasa akan lebih mempunyai banyak kesempatan untuk aktif dalam diskusi-diskusi.
Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang menasehati BPUPKI agar mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya5.
Dalam pidato pembukaannya, dr. Rajiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota sidang: “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini ?’.  Pertanyaan ini menjadi persoalan yang paling dominan sepanjang 29 Mei- 1 Juni 1945. Bahkan dalam rentang waktu tersebut hadir sejumlah pembicara yang mengajukan sejumlah gagasan mengenai dasar filosofis atas negara Indonesia yang hendak dibentuknya. Mereka misalnya Soekarno, Moh. Yamin dan Supomo6 yang secara argumentatif mengemukan pendapatnya tentang dasar negara tersebut, yang pada akhirnya secara ekplisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya yang memberikan jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato kemudian diterbitkan dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut Mohamad Hatta7, pidato Soekarno itu dikatakan sebagai yang bersifat kompromois, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Awal munculnya Pancasila disadari adalah bagian yang tidak terelakkan dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala berbicara mengenai dasar negara. Harus diakui terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan posisi-posisi ideologis anggota BPUPKI. Yang mengedepan di antaranya adalah posisi-posisi dari mereka yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler, dan mereka yang menganjurkan negara yang disebut sebagai negara integralistik. Perdebatan yang paling serius, emosional dan cenderung konfrontasional antara para anggota adalah usul agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Perdebatan tersebut memang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang merupakan suatu modus atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata rumusan dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat,’………dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak diterbitkan sebagaimana draf awal. UUD yang akhirnya diterbitkan tidak berisi konsesi-konsesi kepada posisi Islam sebagaimana dipaparkan dalam Piagam Jakarta. Juga tidak ada keharusan bahwa Presiden harus Islam. Mohammad Hatta dianggap berperan dalam penghapusan ketujuh kata tersebut. Ia berhasil membujuk komisis penulis UUD untuk menghilangkan acuan kepada Islam dalam draf akhir Pembukaan UUD. Hatta khawatir bahwa Indonesia timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Republik kesatuan bila negara baru ini dirasakan mendukung Islam an sich, walau secara tidak langsung sebagai dasarnya8.
Pencoretan tujuh kata inilah yang menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Sukarno dan Mohammad Hatta, yang pada akhirnya menjadikan problem ideologis ini menimpa pula masa pemerintahan Suharto.  Pergulatan awal inilah yang menjadi problem pertentangan pilihan ideologi yang menjadi sumber ‘ancaman’ bagi republik Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut, kondisi ini ternyata tidak bisa diakhiri secara elegan, bahkan semakin lama menyimpan sejumlah persoalan yang berakhir dengan ketegangan-ketegangan ideologi, dari sejak awal negara Indonesia dibentuk sampai sekarang ini. Benar bila Carol Gluck9 mengatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang ‘terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain’. Bahkan akhir-akhir ini utamanya tahun 1999 sejak reformasi digulirkan, ide untuk memunculkan kembali Piagam Jakarta semakin mengedepan dalam konstelasi perpolitikan nasional. Kalangan Islam, utamanya partai politik yang berasaskan Islam, menjadi pilar utama bagi keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Dengan demikian melihat pada perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni sampai 18 Agustus 1945, maka dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan oleh Paniyia Sembilan dan kemudian disepakati oleh sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus, Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi modus kompromi antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara. Di atas Pancasila yang merupakan modus kompromi itu UUD dirumuskan, dan selanjutnya UUD itu menjadi dasar untuk mendirikan Pemerintahan Republik Indonesia10.
Era Orde Lama :
Dinamika Perdebatan Ideologis
Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam tersebut.
Hal ini tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno11. Ini karena Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno tahun 1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh negara12.
Kekhawatiran Sukarno memang beralasan, apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan bersenjata yang berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti kongkret dari ‘ancaman Islam’13. Bahkan atas desakan AH. Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun 1959-an dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat diselesaikan. Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan masa paling membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang berusaha menggulingkan pemerintahan.
Era ini disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila14. Dalam rangka menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Era Orde Baru (1965-1985):
Awal dari Sebuah Legitimasi Kekuasaan
Peristiwa percobaan kudeta 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap G 30 S/PKI dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas ‘kesaktian’ Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak berhasil dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan ideologi negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad Lentjen Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah sejarah baru bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke Suharto (Orde Baru).
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya15. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Instabilitas nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 196616. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila –kemudian- menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
Itulah sebabnya, Suharto beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang pertengahan 1966, MPRS17 telah berhasil membersihkan dirinya dari semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno.
Ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 194518.
Pada ulang tahun kedua puluh ‘Lahirnya Pancasila’ tahun 1967, Persiden Soeharto dan Adam Malik mengucapkan pidato-pidato yang menegaskan pendasaran legitimasi Orde Baru kepada Pancasila. Pancasila dianggap melegitimasi Orde Baru, membenarkan penurunan Sukarno, mendelegitimasi Islam (sebagai kekuatan politik) dan komunisme, serta menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Indonesia melalui peningkatan kemakmuran nasional. Kedua tokoh sentral Orde Baru tersebut menolak demokrasi liberal, yang pernah dijalankan oleh Orde Lama dengan UUD 1950-nya, karena dianggap sebagai ‘penyelewengan’ dari tujuan asli Pancasila. Menurut Orde Baru, Sukarno benar, ketika dia menolak sistem demokrasi parlementer dan membubarkan Konstituante serta menerapkan Demokrasi Terpimpin. Dosa terbesar Sukarno terhadap Pancasila adalah karena ia memberi dorongan kepada PKI, yang jelas anti-Pancasila, karena komunisme tidak sesuai dengan asas pertama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan tegas dan sering diulang-ulang oleh kekuasaan Suharto adalah ‘perjuangan dan keyakinan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen ?’19. Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa tidak boleh ada penafsiran resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila –dengan demikian- tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat.
Realitas ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini. Dengan sebuah argumentasi menarik, Adam Malik mengatakan bahwa karena itu Orde Baru memiliki suatu ‘keyakinan yang dalam untuk mengabdi kepada rakyat dan mengabdi kepada kepentingan nasional didasarkan pada falsafah Pancasila’.
Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif –meminjam istilah Althuser20- seperti presiden, menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Douglas E. Ramage21 mengatakan bahwa meskipun penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4)’. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat22.
Selama pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, faksi NU dalam PPP melakukan protes dengan walk out dari Majelis. Menurut Sidney Jones23, pada saat itu NU adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti itu.
Semenjak itu, Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung partai Golkar, sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI –dengan demikian- harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila24.

Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.

Apa yang dilakukan Soeharto tersebut memperoleh kecaman dan menimbulkan cetusan perlawanan keras dan hidupnya kembali perdebatan mengenai Pancasila. Kelompok lima puluh yang terdiri dari para purnawirawan ABRI yang terkemuka, mantan para pemimpin partai dan akademisi (disebut ‘Petisi 50’) menyerang Soeharto dalam suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR. Pernyataan itu menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap Pancasila untuk tujuan-tujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik terhadap mereka yang dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini mengecam Soeharto, karena mencoba mem-personifikasi-kan Pancasila sehingga tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap anti-Pancasila25. Reaksi tersebut berakibat pada di back-list-nya mereka oleh pemerintah, dan banyak dari mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu bangkitnya perlawanan atas pemerintah Orde Baru, terutama faksi NU dari PPP.
Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi Pancasila26. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya. Menurut William Liddle27 menjelaskan mengapa asas tuinggal itu demikian penting bagi Orde Baru:
    Pemerintah memandang islam sebagai satu-satunya kekuatan sosial yang belum berhasil ditundukkan, belum bersedia menerima gagasan pemerintah tentang pemegang kekuasaan tertinggi. Diterimanya doktrin negara Pancasila oleh umat Islam merupakan simbol dari pengakuan. Penerimaan ini juga memberikan legitimasi kepada kendali pemerintah yang semakin ketat terhadap kehidupan organisasional umat Islam.
Bahkan, pada bulan Mei 1982 Wakil Presiden Adam Malik dengan tegas menunjuk Islam politik sebagai sasaran utama pemerintah:
    Kita harus menghindari perdebatan tentang ideologi dan agama….Dalam kampanye (pemilu 1982) saya telah menekankan bahayanya memecah dan mempolarisasi diri kita sendiri menuruti garis agama. Disengaja atau tidak, partai Islam telah mengeksploitasi perasaan-perasaan keagamaan rakyat. Ini tidak benar dan bisa membahayakan, suatu cara untuk memecah belah rakyat28.
Peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada bulan September 1984 merupakan puncak ketegangan (politik-ideologis) antara kekuatan Islam versus Pancasila. Hal ini dikarenakan adanya persepsi dalam sebagian komunitas Islam bahwa negara memakai Pancasila sebagai alat ideologis untuk menindas Islam politik. Peristiwa tersebut kemudian diikuti oleh serangkaian pengeboman pada bulan Oktober, yang menurut pemerintah dilakukan oleh ekstremis Islam anti-Pancasila di pusat kota Jakarta. Anggota-anggota Petisi 50, termasuk Mayjen (Purn) Dharsono, ditangkap dan diadili dengan tuduhan subversi (anti-Pancasila) karena menghasut peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta29.
Pada era 1990-an, kekuasaan Orde Baru semakin memperoleh hati di masyarakat dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan. Bank Dunia, dalam suatu laporan September 1993 yang dikutip The East Asian Miracle menunjuk Indonesia sebagai suatu ‘ekonomi Asia Timur yang berkinerja tinggi’ dan meramalkan bahwa negara ini akan memasuki bangsa-bangsa yang ber-income-menengah menjelang peralihan abad. Janji Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an tentang peningkatan besar dalam GNP dan pendapatan per kapita pada kenyataannya telah dipenuhi. Standar kehidupan rakyat telah membaik secara dramatis. Realitas ini semakin menguatkan citra Orde Baru dihadapan rakyatnya. Bahkan telah berhasil membangun image tentang kebobrokan ekonomi Orde Lama dan keberhasilan ekonomi Orde Baru. Kebobrokan ekonomi Orde Lama disebabkan karena ‘terlalu sibuk’ melakukan perdebatan panjang tentang ideologi negara, bahkan cenderung melakukan penyelewengan atas Pancasila. Artinya, bagi Orde Baru, konsekuensi-konsekuensi penyelewengan tersebut adalah kondisi perekonomian yang kacau dan ketidakstabilan politik.
Era ini ditandai dengan adanya kemesraan antara pemerintahan Orde Baru dengan kekuatan Islam, bahkan dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bulan Desember 1990. Kemesraan tersebut seolah menandai berakhirnya konfrontasi ideologi antara kekuatan Islam dengan Pancasila. Stabilitas politik pada era ini telah menjamin terselenggaranya pembangunan secara bertahap dan membaiknya pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Meskipun Sri Bintang Pamungkas, tokoh PPP (saat itu) dan pengurus ICMI justru mempersoalkan adanya penyelewengan Pancasila utamanya tentang asas keadilan sosial yang tidak terpenuhi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.
Era Reformasi :
Antara Demokrasi dan Anarkhi
Penyelewengan masa Orde Baru pada akhirnya berakibat pada gelombang besar reformasi yang telah berhasil menggulingkkan kekuatan Orde Baru, Mei 1997, dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan setelah 32 tahun menjadi presiden. Munculnya reformasi seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dikatakan sebagai pemerintahan korup dan menindas, dengan konformitas ideologinya. Pada era ini, kemudian berkembang secara pesat keinginan untuk ‘mengkhayalkan’ terbentuknya masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial, tanpa kooptasi penuh dari negara. Persoalannya adalah justru lepas kendalinya kekuatan masyarakat sipil dari ‘kooptasi’ negara secara bebas dari awal dari tragedi besar dan konflik-konflik berkepanjangan yang menandai munculnya jaman baru tersebut. Tampaknya era ini seperti mengulang problem perdebatan ideologis yang terjadi pada era Orde Lama, dan awal Orde Baru yang berakhir dengan instabilitas politik dan ekonomi secara mendasar. Jatuhnya Orde Baru yang sejak awal mengidentifikasikan sebagai –satu-satunya- pendukung Pancasila, seolah menandai munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar atas kekuatan Pancasila sebagai sebuah ideologi. Tulisan dibawah ini mencoba menggagas ulang sekaligus meneguhkan kekuatan Pancasila sebagai ideologi, dan memberikan spirit nilainya bagi pembentukan masyarakat sipil di Indonesia, agar kesalahan sejarah tidak terulang lagi
(Sumber : Buku (De) Konstruksi Indoeologi Negara : Upaya Membaca Ulang Pancasila, Listiyono Santoso, Heri Santoso dan Soedarso, 2003, Penerbit Ning-Rat Press, Yogyakarta)

Pengantar Antropologi

antro1 300x240 Pengantar Antropologi
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti “manusia“, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Prof Dr Koentjaraningrat (1923-1999)

Bapak Antropologi Indonesia

Pak Koen, panggilan akrabnya, seorang ilmuwan yang berjasa meletakkan dasar-dasar perkembangan ilmu antropologi di Indonesia. Sehingga ia diberi kehormatan sebagai Bapak Antropologi Indonesia. Hampir sepanjang hidupnya disumbangkan untuk pengembangan ilmu antropologi, pendidikan antropologi, dan apsek-aspek kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia.
Prof Dr Koentjaraningrat tertarik bidang ilmu antropologi sejak menjadi asisten Prof GJ Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih gelar MA Antropologi dari Yale University, AS, 1956 dan Doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.
Pak Koen merintis berdirinya sebelas jurusan antropologi di berbagai universitas di Indonesia. Ilmuwan yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris ini juga tekun menulis. Beberapa karya tulisnya telah menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa di Indonesia. Ia banyak menulis mengenai perkembangan antropologi Indonesia. Sejak tahun 1957 hingga 1999, ia telah menghasilkan puluhan buku serta ratusan artikel.
Melalui tulisannya, ia mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Buah-buah pikirannya yang terangkum dalam buku kerap dijadikan acuan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan masyarakat Indonesia, baik oleh para ilmuwan Indonesia maupun asing.
Salah satu bukunya yang menjadi pusat pembelajaran para mahasiswanya adalah Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1963. Dalam buku itu, diceritakan kegiatan Prof Dr Koentjaraningrat dalam menimba ilmu. Juga di dalamnya, dia menjadi tokoh pusat dalam perkembangan antropologi.
Selain itu, bukunya Pengantar Antropologi yang diterbitkan pada tahun 1996 telah menjadi buku pegangan para mahasiswa di berbagai universitas dan berbagai jurusan yang ada di Indonesia.
Buku lainnya yang pernah diterbitkannya adalah hasil penelitian lapangan ke berbagai wilayah di Indonesia seperti Minangkabau, daerah Batak hingga pelosok Irian Jaya. Buku itu berjudul Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta (1973), Masyarakat Desa di Indoensia (1984), Kebudayaan Jawa (1984), Masyarakat Terasing di Indonesia (1993), dan sebagainya.
Selain itu, ia juga pernah mengadakan penelitian di negara lain seperti Belanda dan Belgia.
Kepribadiannya yang khas, meninggalkan kesan tersendiri dalam ingatan para mahasiswanya. Kesan dan pandangan para mahasiswa, kerabat, sahabat dan koleganya, sepertinya dapat mengungkapkan jati diri seorang tokoh dalam berbagai aspek kehidupannya di kelas, di rumah, dan di dalam kehidupan sehari-hari.
Pada mulanya ia pernah ditugaskan untuk mengembangkan pendidikan dan penelitian dalam antropologi. Dia menyiapkan dan menyediakan bahan untuk pengajaran. Dalam rangka pemenuhan tugas-tugas itu, ia tidak hanya produktif menulis buku-buku acuan pendidikan antropologi, melainkan dia juga menulis buku-buku dan artikel ilmiah lainnya berkenaan dengan kebudayaan, suku bangsa, dan pembangunan nasional di Indonesia.
Profesor bernama lengkap Koentjoroningrat ini dilahirkan di Yogyakarta, 15 Juni 1923, sebagai anak tunggal. Ayahnya, RM Emawan Brotokoesoemo, adalah seorang pamong praja di lingkungan Pakualaman. Sementara ibunya, RA Pratisi Tirtotenojo, sering diundang sebagai penerjemah bahasa Belanda oleh keluarga Sri Paku Alam. Walaupun anak tunggal, didikan ala Belanda yang diterapkan ibunya membuatnya menjadi pribadi yang disiplin dan mandiri sejak kecil.
Pada usia delapan tahun, ia mulai bersekolah di Europeesche School. Pada masa-masa itu, ia sering menghabiskan waktu bermain di lingkungan keraton. Kedekatannya dengan lingkup keraton yang kental dengan seni dan kebudayaan Jawa, sedikit banyak memengaruhi pembentukan kepribadiannya sebagai antropologi di kemudian hari.
Selepas dari Europeesche School, remaja yang juga punya bakat melukis ini meneruskan sekolah ke AMS dan mulai mempelajari seni tari di Tejakesuman. Bersama dua sahabatnya, yaitu Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh pers), Koentjaraningrat rajin menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca, di antaranya disertasi tentang antropologi milik para pakar kenamaan.
Kemudian, ia pun meraih gelar sarjana sastra bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia, pada 1952. Selanjutnya, pada tahun 1956, ia mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University, AS. Kemudian meraih gelar doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958.
Karier yang pernah dijabatnya yakni menjadi Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia. Kemudian menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Begawan antropologi Indonesia ini juga pernah diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht, Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di Paris dan Center for South East dan Asian Studies di Kyoto.
Berbagai penghargaan telah dianugerahkan padanya atas pengabdiannya dalam pengembangan ilmu antropologi. Di antaranya, penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Pak Koen juga mendapat penghargaan Satyalencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI (1968 dan 1981).
Tutup Usia
Antropolog pertama Indonesia ini meninggal dunia  dalam usia 75 tahun, Selasa 23 Maret 1999 sekitar pukul 16.25, di RS Kramat 128, Jakarta Pusat. Dia telah terkena stroke sejak 1989. Dimakamkan di TPU Karet Bivak, Rabu 24 Maret 1999 sekitar pukul 13.00.
Sebelumnya disemayamkan di rumah duka di Jl Daksinapati Timur IV/C2, Kompleks IKIP Rawamangun. Hadir melayat antara lain ahli filsafat dan budayawan Prof Dr Toeti Herati Nuradi, mantan Mendikbud Prof Dr Fuad Hassan, Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional Dr Anhar Gonggong, dan sosiolog Prof Dr Sardjono Jatiman.
Menurut keterangan putri ketiganya, Ny Rina “Maya” Tamara, perintis berdirinya Jurusan Antropologi UI dan sejumlah universitas negeri lainnya ini, memang sudah sejak lama menderita stroke dan terkena serangan mendadak beberapa kali. Serangan stroke pertama kali terjadi selang setahun setelah ia resmi mengakhiri masa dinasnya sebagai pegawai negeri, 15 Juni 1988. Menurut Maya, mendiang ayahnya Senin malam 22 Maret 1999 sekitar pukul 22.10 secara mendadak tak sadarkan diri setelah sebelumnya sempat muntah-muntah, dan segera dilarikan ke RS Kramat 128.
Pak Koen meninggalkan seorang istri, Kustiani yang dikenal sejak kuliah di UI, tiga anak, Sita Damayanti, Rina Tamara, dan Inu Dewanto, dan empat cucu.
, dari berbagai sumber.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Macam-Macam Jenis Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi :
A. Antropologi Fisik
1. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengna mengamati ciri-ciri fisik.
B. Antropologi Budaya
1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
Di samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik, antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.
http://organisasi.org/definisi-pengertian-antropologi-objek-tujuan-dan-cabang-ilmu-antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya
Antropologi berasal dari kata Yunani ???????? (baca: anthropos) yang berarti “manusia” atau “orang”, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/ perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitan pada pendudukyang merupakan masyarakat tunggal.
Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
[sunting] Sejarah
Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.
Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
[sunting] Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
[sunting] Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
[sunting] Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
[sunting] Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/antropologi/pengertian-antropologi

Bapak Sosiologi Indonesia

Prof Dr KPH Selo Soemardjan

Seorang lagi putera bangsa terbaik telah tiada. Ia ‘Bapak Sosiologi Indonesia’ Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia meninggalkan lima anak, 15 cucu dan dua cicit. Istrinya, RR Suleki Brotoatmodjo, dan putra keduanya, Budihardjo, sudah lebih dulu berpulang. Jenazah disemayamkan di rumah kediaman Jl Kebumen 5, Menteng, Jakarta Pusat. Sangat banyak kerabat yang melayat, sehingga jalan sekitar sempat macet karena banyaknya kendaraan yang diparkir.
Kemudian Kamis (12/6) pukul 06.00, jenazah diterbangkan ke Yogyakarta, kota kelahirannya (Jl Kemetiran Kidul II/745, Kuncen) dengan pesawat Garuda GA 200. Jenazah akan disemayamkan di Masjid Kuncen sebelum dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari ini pukul 12.00 WIB.
Salah seorang anaknya mengatakan hari Senin pukul 05.00, beliau mulai dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita karena gangguan jantung. Rabu pukul 10.30 kena stroke. Dokter berusaha keras memberi bantuan pernapasan lewat alat-alat pernapasan, tetapi karena jantungnya terus melemah, usaha tersebut gagal. Sosiolog ini meninggal di tengah keluarga dan kerabat. Sekitar pukul 09.00 almarhum masih sempat tertawa-tawa menonton acara televisi yang memutar film Benyamin Samson Betawi. Tetapi, sekitar pukul 11.00 ia terlihat sesak napas.
Almarhum meninggalkan contoh yang baik, teladan, bukan hanya bgi keluarga tetapi bagi kerabat dan masyarakat umum. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Tidak heran jika banyak kalangan yang melayat ke rumah duka menyampaikan belasungkawa. Di antaranya Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Sumantri dan Rektor UI Usman Chatib Warsa, Wakil Rektor Arie S Soesilo, mantan Mendikbud Fuad Hassan, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Miriam Budiardjo, mantan Ketua LIPI Taufik Abdullah, Ketua LIPI Anggara Jeni, Ketua LKBN Antara Muhammad Sobary, tokoh pers Jacob Oetama, pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo, Sosiolog Paulus Wirutomo, rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno SJ, Melly G Tan, sejarawan Taufik Abdullah, politisi dan musisi Eros Djarot serta antropolog Prof Dr Ichromi.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 — seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS — mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI.
Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. “Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali,” tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, “Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama.” Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. “Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah,” tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka “mengerutkan kening”. Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. “Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat,” kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. “Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya,” tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber

Maximilian Weber

Maximilian Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 - wafat di München, Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni “pembebasan dunia dari pesona” (”disenchanment of the world”) yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
magnify clip Tokoh Sosiologi
Sampul salah satu edisi The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.
Ia mendefinisikan “semangat kapitalisme” sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu — para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka — tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. “Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme,” demikian Weber menulis, “dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.”
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase “etika kerja” yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari “etika Protestan” yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa “bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat.”
Referensi
Karya Weber pada umumnya dikutip menurut Gesamtausgabe kritis (edisi kumpulan tulisan), yang diterbitkan oleh Mohr Siebeck di Tübingen, Jerman.
Bendix, Reinhard (1960). Max Weber: An Intellectual Portrait. Doubleday. ISBN 052003194
Kaesler, Dirk (1989). Max Weber: An Introduction to His Life and Work. University of Chicago Press. ISBN 0-226-42560-6
Mommsen, Wolfgang (1959/1974). Max Weber and German Politics, 1890-1920. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN 0-226-53399-9
Roth, Guenther (2001). Max Webers deutsch-englische Familiengeschichte. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN 3-16-147557-7
Weber, Marianne (1926/1988). Max Weber: A Biography. New Brunswick: Transaction Books. ISBN 0-471-92333-8
Richard Swedberg “Max Weber as an Economist and as a Sociologist”, American Journal of Economics and Sociology
Richard Swedberg, Max Weber and the Idea of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-07013-X
Korotayev A., Malkov A., Khaltourina D. Introduction to Social Macrodynamics. Moscow: URSS, 2006. ISBN 5-484-00414-4 1 (Chapter 6: Reconsidering Weber: Literacy and “the Spirit of Capitalism”).
Radkau, Joachim (2005). Max Weber The most important Weber-biography on Max Weber’s life and torments since Marianne Weber
http://id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber

Auguste Comte

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; 17 Januari 17985 September 1857) adalah seorang ilmuwan dari Perancis yang dijuluki sebagai “bapak sosiologi“. Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Kehidupan
Comte lahir di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di Politeknik École di Paris. Politeknik École saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut ditutup untuk direorganisasi. Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya: meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Indonesia: Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor dan bantuan finansial dari beberapa temannya.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga rujukan? pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumahsakit mental, tetapi ia kabur sebelum sembuh. kemudian–setelah kondisinya distabilkan oleh Massin–ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Cours.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari “agama kemanusiaan” (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive (18511854).
Dia wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise.
Peninggalan
motto Ordem e Progresso (”Order and Progress”) yang tertulis pada bendera Brazil terinspirasi dari motto postivisme August Comte: L’amour pour principe et l’ordre pour base; le progrès pour but (”Cinta sebagai sebuah prinsip dan perintah sebagai basisnya; proses sebagai tujuannya”). Kata-kata tersebut dijadikan motto karena berdasarkan fakta, orang-orang yang melakukan kudeta militer yang kemudian menjatuhkan monarki dan memproklamasikan Brazil sebagai republik adalah para pengikut pemikiran Comte.
Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”).
Fase Teologi dilihat dari prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama, fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada permasalahan masyarakat Perancis pasca-revolusi PerancisRevolusi. Fase Metafisika ini merupakan justifikasi dari “hak universal” sebagai hal yang pada  atas   suatu wahana  yang   lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala  penguasa/penggaris   manusia untuk membatalkan perintah lalu, walaupun berkata  hak/ kebenaran   tidaklah disesuaikan kepada yang suci di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia mengumumkan dengan istilah nya Tahap yang ilmiah, Yang menjadi nyata setelah kegagalan revolusi dan  tentang   Napoleon, orang-orang bisa temukan solusi ke permasalahan sosial dan membawa  mereka/nya   ke dalam kekuatan di samping proklamasi hak azasi manusia atau nubuatan kehendak Tuhan. Mengenai ini ia adalah serupa untuk Karl Marx Dan Jeremy Bentham. Karena waktu nya, ini gagasan untuk suatu Tahap ilmiah telah dipertimbangkan terbaru, walaupun dari suatu sudut pandang kemudiannya  itu   adalah  yang   terlalu derivative untuk ilmu fisika klasik dan sejarah akademis.
Hukum universal lain  yang   ia  memanggil/hubungi   ’ hukum yang seperti ensiklopedi’. Dengan kombinasi hukum ini, Comte mengembang;kan suatu penggolongan  yang   hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik ( biologi dan untuk pertama kali, bentuk badan sociale, dinamai kembali kemudiannya sociologie).
Ini gagasan untuk suatu science-not khusus ras manusia,  yang   bukan metaphysics-for sosial adalah terkemuka abad yang 19th dan tidak unik ke Comte. Ambitious-Many akan kata kan grandiose-way yang Comte membayangkan tentangnya, bagaimanapun, adalah unik.
Comte lihat ilmu pengetahuan baru ini, sosiologi,  seperti;sebagai;ketika    yang   terbesar dan yang ter  akhir dari semua ilmu pengetahuan, apa yang itu akan meliputi semua lain ilmu pengetahuan, dan yang akan mengintegrasikan dan menghubungkan penemuan mereka ke dalam suatu  yang   utuh kompak.
Comte’S penjelasan Filosofi yang positif memperkenalkan hubungan yang penting antar a   teori, praktek dan pemahaman manusia dunia. Pada  atas   halaman 27 yang 1855  yang   mencetak Harriet Martineau‘S terjemahan Filosofi Auguste  yang   Yang positif Comte, kita lihat pengamatan nya bahwa, ” Jika adalah benar bahwa tiap-tiap teori harus didasarkan diamati fakta,  itu   dengan sama benar yang fakta tidak bisa diamati tanpa bimbingan beberapa teori. Tanpa . seperti (itu) bimbingan, fakta  kita/kami   akan bersifat tanpa buah dan tak teratur; kita tidak bisa mempertahankan  mereka/nya  : sebagian terbesar kita tidak bisa genap merasa  mereka/nya  . ( Comte, A. ( 1974 cetak ulang). Filosofi yang positif Auguste Comte  yang   dengan  cuma-cuma/bebas   yang diterjemahkan dan yang dipadatkan oleh Harriet Martineau. New York, NY: ADALAH Tekanan. ( Pekerjaan asli menerbitkan 1855, New York, NY: Calvin Blanchard, p. 27.)
Ia coined kata an   ”altruism” untuk mengacu pada apa yang ia percaya untuk menjadi kewajiban moral individu untuk melayani (orang) yang lain dan menempatkan minat mereka di atas diri sendiri. Ia menentang;kan  itu   gagasan untuk  hak/ kebenaran   individu, pemeliharaan yang mereka tidaklah konsisten dengan etis diharapkan ini ( Ini ( Catechisme Positiviste).
Seperti   yang telah menyebutkan, Comte merumuskan hukum tiga langkah-langkah, salah satu  dari   teori yang pertama evolutionism yang sosial: pengembangan manusia itu ( kemajuan sosial) maju dari theological langkah, di mana alam i   secara dongengan dipahami/dikandung dan orang  laki-laki   mencari penjelasan  dari;ttg   gejala alami dari mahluk hal-hal yang gaib, melalui/sampai metaphysical langkah di mana alam i   telah membayangkan sebagai hasil mengaburkan kekuatan dan orang  laki-laki   mencari penjelasan  dari;ttg   gejala alami dari  mereka/nya   sampai yang akhir  itu   Positive Langkah di mana semua abstrak dan mengaburkan kekuatan dibuang, dan gejala alami diterangkan oleh hubungan tetap mereka. Kemajuan ini dipaksa melalui/sampai pengembangan pikiran manusia, dan meningkat(kan) aplikasi pikiran, pemikiran dan logika kepada pemahaman dunia.
Di (dalam) Seumur hidup Comte’s, pekerjaan nya kadang-kadang dipandang secara skeptis sebab ia telah mengangkat Paham positifisme untuk a agama dan yang telah nama  sen  dirinya Sri Paus Paham positifisme. Ia coined istilah ” sosiologi” untuk menandakan ilmu pengetahuan masyarakat yang baru    . Ia mempunyai lebih awal menggunakan ungkapan  itu  , ” ilmu fisika sosial,” untuk mengacu pada ilmu pengetahuan masyarakat yang positif; tetapi sebab (orang) yang lain,  yang   khususnya Orang statistik Belgia Adolphe Quetelet, dimulai yang telah untuk menggunakan itu memasukkan  adalah   suatu maksud/arti berbeda, Comte merasa kan kebutuhan  itu   untuk menemukan  itu   pembentukan kata baru, ” sosiologi,” a hybrid tentang Latin ” socius” (” teman”) dan Yunani”?????” ( Logo, ” Kata An  “).
Comte biasanya dihormati  ketika;seperti   lebih dulu Sarjana sosiologi barat ( Ibn Khaldun setelah didahului dia di (dalam) Timur dengan hampir empat berabad-abad). Penekanan Comte’s pada  atas   saling behubungan  dari;ttg   unsur-unsur sosial adalah suatu pertanda  dari;ttg   modern functionalism. Meskipun demikian,  seperti/ketika   dengan (orang) yang lain banyak orang  dari;ttg   Waktu Comte’s, unsur-unsur  yang   tertentu  dari;ttg   pekerjaan nya kini dipandang sebagai tak ilmiah dan eksentrik, dan visi agung sosiologi nya  sebagai/ketika   benda hiasan di tengah meja dari semua ilmu pengetahuan belum mengakar.
Penekanan nya pada  atas   suatu kwantitatif, mathematical basis untuk pengambilan keputusan tinggal dengan  kita/kami   hari ini.  Ini   merupakan suatu pondasi bagi dugaan Paham positifisme yang modern, analisa statistik kwantitatif modern, dan pengambilan keputusan bisnis. Uraian nya hubungan siklis yang berlanjut antar a   teori dan praktek dilihat di sistem bisnis modern Total Manajemen Berkwalitas dan Peningkatan Mutu Berlanjut  di mana/jika   advokat menguraikan suatu siklus teori  yang   berlanjut dan praktek melalui/sampai four-part siklus rencana,, cek, dan bertindak. Di samping pembelaan analisis kuantitatif nya, Comte lihat suatu batas dalam kemampuan nya untuk membantu menjelaskan gejala sosial.
Popularity: 72% [?]